Five Star Doctor, dr Cipto Mangunkusumo
Departemen Kajian, Strategi, dan Advokasi
Lembaga Eksekutif Mahasiswa
FakultasKedokteran
Universitas Islam Indonesia
2014
Tjipto Mangoenkoesoemo adalah seorang putra bangsa yang
menyayangi bangsanya baik melalui jalan perbaikan kesehatan ataupun poitik anti
feodalisme dan anti kolonialisme-nya. Perlu banyak waktu untuk menceritakan
panjang lebar tentang tokoh ini, jadi saya akan memfokuskan ceritanya pada saat
ia menjadi siswa ya, semoga dapat menjadi inspirasi bagi kita, contoh yang
baik, jangan contoh yang tidak baik. Oke ? Kita mulai berkenalan dengan beliau.
Tjipto
Mangoenkoesoemo kecil lahir dari keluarga kelas menengah bawah di Ambarawa
tanggal 4 Maret 1886. Putra tertua dari Mangunkusumo, seorang guru yang
kemudian menjadi Kepala sekolah, ini memiliki kecerdasan dan semangat belajar
yang tinggi. Cipto memiliki keluarga yang memegang budaya Belanda, Ayahnya yang
merupakan anggota Dewan Kota Semarang. Melalui kecerdasannya, ia mampu
bersekolah di Stovia (School Ter Opleiding Van Indische Artsen = Sekolah Dokter
Bumiputera). Di Stovia, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur,
berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjulukinya sebagai “een begaald
leerling” atau murid yang berbakat , Subhanallah. Namun, di sana Cipto
juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda
dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain, Cipto lebih suka menghadiri
ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Nah, perlu dicontoh ya, jangan
banyak main, banyak belajar, tugas utama pelajar. Ketidakpuasan terhadap
lingkungan sekelilingnya, senantiasa dijadikannya topik pidato. Baginya, STOVIA
adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari
tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang
diskriminatif.
Beberapa peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidakpuasan
pada dirinya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang
bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang
berada di sekolah. Hal ini membuat geram Cipto, namun ia tidak hanya marah dan
bicara besar, ia beraksi nyata. Di sekolah ia memakai baju hitam dengan kain
berwarna kelam dan ikat kepala dari batik yang dipakai secara sederhana.
Pakaian itu adalah pakaian petani, pakaian rakyat jelata. la sendiri mengaku
dirinya anak rakyat, anak si Kronis. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di
STOVIA merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan
melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki
administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat
pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang
memakai pakaian Barat. Akibat dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak
menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Ia menamatkan STOVIA pada tanggal 28 Oktober 1905.
Ketidakpuasannya
terhadap peraturan-peraturan di STOVIA serta keprihatinannya terhadap kondisi
masyarakat Indonesia di bawah jajahan kolonial Belanda saat itu membuat dirinya
aktif menuangkan segala pemikiran dan kritisinya dalam harian De locomotive dan
Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Tulisannya disana mengkritik dan
menyerang cara memerintah Pemerintah Hindia Belanda yang feodalistik sehingga
menyengsarakan rakyat. Akibat tulisannya itu, dokter Cipto diberi ultimatum,
diberi peringatan, Berhenti menulis atau berhenti menjadi dokter pemerintah dan
mengembalikan beasiswa yang ia dapat sewaktu belajar di Stovia. Bagaimana ?
Bagaimana jika kita berada di posisi dokter Cipto ? mana yang kita pilih ?
Ternyata saudara-saudara sekalian, beliau memilih kehilangan uang dan
jabatannya daripada rasa nasionalismenya terkekang. Ia pun berhenti menjadi
dokter pemerintah dan membuka praktek di Sala.
Cipto Mangunkusumo banyak mengecap kehidupan organisasi. Ia
bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo hingga akhirnya keluar dari
organisaasi tersebut karena merasa aspirasinya tidak dapat tersampaikan, dan
memang Boedi Oetomo akhirnya dipegang oleh Pemerintah Belanda. Bulan September
1912 Douwes Dekker, dr. Cipto dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara)
mengadakan propaganda keliling pulau Jawa dan pada 25 Desember 1912 mengumumkan
berdirinya Indische Partij (IP), dengan ketua Douwes Dekker dan dr. Cipto
menjadi wakil ketuanya, IP adalah partai politik dalam arti yang sesungguhnya.
Bentuk dan karakter bangsa dan negara Indonesia, secara langsung dan tidak
langsung, juga di bentuk oleh dr Cipto. Salah satu caranya adalah beliau
merupakan mentor utama dari Soekarno, presiden pertama RI, saat Soekarno pindah
ke Bandung. Penders (1974) menyatakan dalam bukunya : "In some ways
this close relationship between Tjipto and Sukarno was not surprising; both
were highly intelligent men and extremely sensitive to the reality of the colonial
situation, an injustice they took as a personal insult.".
Masih banyak kisah kehidupan dari dokter Cipto Mangunkusumo yang
tak cukup diungkapkan dalam tulisan ini, baik sumbangsihnya dalam memperbaiki
kesehatan masyarakat di zaman kolonial ataupun kehidupan politiknya yang
menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sekali lagi saya
ingatkan, contohlah yang baik dari beliau, dan jangan contoh yang buruk,
manusia pasti memiliki kesalahan. Peka terhadap yang salah, dukung yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar